RSS

Selasa, 27 Oktober 2009

Saat Kita Dipisahkan oleh Dinding Dakwah Profesi

KITA YANG MEMBENTUK REALITA

bukan realita yang membentuk kita

sebelum Wright bersaudara berilusi "GILA" tentang manusia bisa terbang
semua orang pasrah pada realita
bahwa manusia tak akan mungkin bisa terbang

dan Einstein pun berkata "Realita bukanlah kenyataan, tapi ilusi yang NGOTOT!!"

tapi idealisme kita bukan ilusi
bukan pula mimpi utopia

tapi idealisme kita adalah dari Al Haq
dan pernah mewarnai lebih dari 2/3 dunia
selama berabad abad menjadi imperium terbesar sepanjang sejarah manusia

ya... idealisme itu bernama Islam

dan suatu kehormatan besar
mati dalam keadaan menggenggam idealisme dengan erat...
tak terlepas sedikitpun

terakhir....
menjadi da'i
yang dalam pandangannya
setiap insan adalah obyek da'wah
setiap insan adalah peluang surga
bahkan kepada mereka yang jauh lebih senior sekalipun dalam da'wah

itulah indahnya berjamaah
kata Sayyid Quthb "jadilah engkau sebagai batu bata yang saling mengokohkan, bukan saling melemahkan"

dan yang perlu kita ingat..
untuk menyiapkan sebuah generasi yang berakhlak mulia
dan Tauhid yang lurus, saja

Rasululloh melakukannya selama 13 tahun di fase Makiyah

dan baru
turunnya perintah ini dan itu , larangan ini dan itu
mayoritas pada fase Madaniyah atau menjelang wafatnya Beliau

13 tahun
untuk menyiapkan generasi yang berkata "sami'na wa atho'na" (kami dengar dan kami ta'at)

jadi kita harus maklum
pada saudara-saudari kita yang "menyimpang" tadi
bisa jadi mereka baru tarbiyah 5-6 tahun aja

so...
ishbir ya ukhti..
bersabarlah....
Ketika dakwah ini semakin meluas, maka spektrum barisan dakwah pun menjadi semakin luas dan beragam. Jika dengan jumlah kecil barangkali kita masih cenderung homogen, maka ketika sudah besar homogenitas itupun sulit dipertahankan. Mau homogen terus, ya tidak pernah besar, atau minimal tidak segera besar.

Dahulu, musik kita adalah nasyid-nasyid yang “kering (dari instrumentalia)” tapi “basah dengan ruh perjuangan Islam”. Namun ketika dakwah sudah semakin meluas, maka musik-musik kita pun semakin “ramai” dan semakin melenakan. Lirik-lirik lagunya pun tidak lagi hanya bertemakan perjuangan, tetapi juga mulai merambah tema-tema populer.

Sepanjang masalah hukum, musik-musik kita saat ini barangkali masih bisa diterima, karena memang belum melampaui batasan-batasan yang bersifat qath’iy. Kalaupun dikatakan melanggar batasan-batasan tertentu, maka batasan-batasan itupun bukan batasan yang disepakati oleh semua ulama alias khilafiyah.

Namun permasalahannya adalah “Kita mau menjadi siapa?”

Seorang kader inti dakwah adalah mereka yang hendaknya memiliki kelebihan-kelebihan dan keistimewaan-keistimewaan dibandingkan orang banyak. Ia adalah orang yang suka bersikap wara’ (menjauhi hal-hal yang syubhat).

Ia adalah orang yang senantiasa menjauhi hal-hal yang melenakan dan tidak mau bersikap santai, karena ia sangat prihatin dengan kondisi umat. Tetapi jika kita tidak mau menjadi kader inti dakwah, maka kita bisa saja mengambil berbagai keringanan dan kesenangan, sepanjang itu masih mubah.

Sebuah kaidah mengatakan: "Jika engkau dihadapkan pada berbagai perbedaan pendapat, bersikaplah wara', tasyaddud dan ihtiyath untuk dirimu sendiri, akan tetapi bersikaplah lapang dan taysir untuk orang banyak." Rasanya, ini adalah sebuah kaidah yang sangat tepat untuk kita terapkan.

Sebuah mutiara hikmah mengatakan: "Tidaklah engkau akan menjadi orang yang benar-benar bertaqwa (yang sempurna taqwanya) sampai engkau menjauhi (meninggalkan) hal-hal yang tidak apa-apa karena khawatir akan ada apa-apa didalamnya."

Ini juga bagus untuk kita terapkan bagi pribadi-pribadi kita. Namun tentunya tidak berarti kita kemudian menjadi orang yang menjadikan agama ini sedemikian sulit melebihi batas. "Tidaklah Allah menjadikan atas kalian kesulitan dan kesempitan (haraj) dalam agama ini."

ingatlah saudariku....
seorang pemenang tak kan pernah menyerah pada realitas

seorang yang besar di jamannya
yang di tuliskan dengan tinta emas dalam sejarah nan abadi
adalah seorang yang teguh memegang idealisme (bahkan idealisme yg salah sekalipun)
bahkan hingga tetes darah terakhir.....

KITA YANG MEMBENTUK REALITA
a..Realitas dan Idealitas terkadang memang bertolak belakang, itulah hidup...itulah salah satu alasan mengapa manusia diberi akal pikiran dan hati...apalagi berbicara muammalah lintas gender, tidak akan pernah habis meskipun berjilid2 buku tentang itu ditulis,
sepakat bahwa realitas harusnya dibentuk dari idealitas tetapi idealitas menurut pandangan siapa?
idealitas berasal dari pikiran dan hati manusia, tetapi dari pikiran dan hati yang bagaimana?
Yang bersih tentunya ,,
Kuncinya adalah berawal dari pribadi, tercermin dalam kehidupan keluarga, menjadi corak dalam masyarakat guna mambentuk peradaban yang madani sesuai aturan Al-Qur'an dan As-Sunnah..
Wallahu'alam
* Dari sebuah blog teman*


Saat Kita Dipisahkan oleh Dinding Dakwah Profesi

KITA YANG MEMBENTUK REALITA

bukan realita yang membentuk kita

sebelum Wright bersaudara berilusi "GILA" tentang manusia bisa terbang
semua orang pasrah pada realita
bahwa manusia tak akan mungkin bisa terbang

dan Einstein pun berkata "Realita bukanlah kenyataan, tapi ilusi yang NGOTOT!!"

tapi idealisme kita bukan ilusi
bukan pula mimpi utopia

tapi idealisme kita adalah dari Al Haq
dan pernah mewarnai lebih dari 2/3 dunia
selama berabad abad menjadi imperium terbesar sepanjang sejarah manusia

ya... idealisme itu bernama Islam

dan suatu kehormatan besar
mati dalam keadaan menggenggam idealisme dengan erat...
tak terlepas sedikitpun

terakhir....
menjadi da'i
yang dalam pandangannya
setiap insan adalah obyek da'wah
setiap insan adalah peluang surga
bahkan kepada mereka yang jauh lebih senior sekalipun dalam da'wah

itulah indahnya berjamaah
kata Sayyid Quthb "jadilah engkau sebagai batu bata yang saling mengokohkan, bukan saling melemahkan"

dan yang perlu kita ingat..
untuk menyiapkan sebuah generasi yang berakhlak mulia
dan Tauhid yang lurus, saja

Rasululloh melakukannya selama 13 tahun di fase Makiyah

dan baru
turunnya perintah ini dan itu , larangan ini dan itu
mayoritas pada fase Madaniyah atau menjelang wafatnya Beliau

13 tahun
untuk menyiapkan generasi yang berkata "sami'na wa atho'na" (kami dengar dan kami ta'at)

jadi kita harus maklum
pada saudara-saudari kita yang "menyimpang" tadi
bisa jadi mereka baru tarbiyah 5-6 tahun aja

so...
ishbir ya ukhti..
bersabarlah....
Ketika dakwah ini semakin meluas, maka spektrum barisan dakwah pun menjadi semakin luas dan beragam. Jika dengan jumlah kecil barangkali kita masih cenderung homogen, maka ketika sudah besar homogenitas itupun sulit dipertahankan. Mau homogen terus, ya tidak pernah besar, atau minimal tidak segera besar.

Dahulu, musik kita adalah nasyid-nasyid yang “kering (dari instrumentalia)” tapi “basah dengan ruh perjuangan Islam”. Namun ketika dakwah sudah semakin meluas, maka musik-musik kita pun semakin “ramai” dan semakin melenakan. Lirik-lirik lagunya pun tidak lagi hanya bertemakan perjuangan, tetapi juga mulai merambah tema-tema populer.

Sepanjang masalah hukum, musik-musik kita saat ini barangkali masih bisa diterima, karena memang belum melampaui batasan-batasan yang bersifat qath’iy. Kalaupun dikatakan melanggar batasan-batasan tertentu, maka batasan-batasan itupun bukan batasan yang disepakati oleh semua ulama alias khilafiyah.

Namun permasalahannya adalah “Kita mau menjadi siapa?”

Seorang kader inti dakwah adalah mereka yang hendaknya memiliki kelebihan-kelebihan dan keistimewaan-keistimewaan dibandingkan orang banyak. Ia adalah orang yang suka bersikap wara’ (menjauhi hal-hal yang syubhat).

Ia adalah orang yang senantiasa menjauhi hal-hal yang melenakan dan tidak mau bersikap santai, karena ia sangat prihatin dengan kondisi umat. Tetapi jika kita tidak mau menjadi kader inti dakwah, maka kita bisa saja mengambil berbagai keringanan dan kesenangan, sepanjang itu masih mubah.

Sebuah kaidah mengatakan: "Jika engkau dihadapkan pada berbagai perbedaan pendapat, bersikaplah wara', tasyaddud dan ihtiyath untuk dirimu sendiri, akan tetapi bersikaplah lapang dan taysir untuk orang banyak." Rasanya, ini adalah sebuah kaidah yang sangat tepat untuk kita terapkan.

Sebuah mutiara hikmah mengatakan: "Tidaklah engkau akan menjadi orang yang benar-benar bertaqwa (yang sempurna taqwanya) sampai engkau menjauhi (meninggalkan) hal-hal yang tidak apa-apa karena khawatir akan ada apa-apa didalamnya."

Ini juga bagus untuk kita terapkan bagi pribadi-pribadi kita. Namun tentunya tidak berarti kita kemudian menjadi orang yang menjadikan agama ini sedemikian sulit melebihi batas. "Tidaklah Allah menjadikan atas kalian kesulitan dan kesempitan (haraj) dalam agama ini."

ingatlah saudariku....
seorang pemenang tak kan pernah menyerah pada realitas

seorang yang besar di jamannya
yang di tuliskan dengan tinta emas dalam sejarah nan abadi
adalah seorang yang teguh memegang idealisme (bahkan idealisme yg salah sekalipun)
bahkan hingga tetes darah terakhir.....

KITA YANG MEMBENTUK REALITA
a..Realitas dan Idealitas terkadang memang bertolak belakang, itulah hidup...itulah salah satu alasan mengapa manusia diberi akal pikiran dan hati...apalagi berbicara muammalah lintas gender, tidak akan pernah habis meskipun berjilid2 buku tentang itu ditulis,
sepakat bahwa realitas harusnya dibentuk dari idealitas tetapi idealitas menurut pandangan siapa?
idealitas berasal dari pikiran dan hati manusia, tetapi dari pikiran dan hati yang bagaimana?
Yang bersih tentunya ,,
Kuncinya adalah berawal dari pribadi, tercermin dalam kehidupan keluarga, menjadi corak dalam masyarakat guna mambentuk peradaban yang madani sesuai aturan Al-Qur'an dan As-Sunnah..
Wallahu'alam
* Dari sebuah blog teman*

Senin, 26 Oktober 2009

Sebuah Permulaan dari sebuah ukhuwah

Orang Yang beriman….
Tak akan rela ia membiarkan dirinya begitu larut dalam kesedihan dalam waktu yang lama…
Tak akan rela ia membiarkan dirinya menyerah hanya karena keberhasilan yang tertunda…
Tak akan rela ia membiarkan dirinya putus asa hanya karena harapannya tak kunjung menjadi nyata…
Tak akan rela ia membiarkan dirinya kecewa hanya karena orang-orang tak menghargai, bahkan menarik diri dan menjauh darinya…
Tak akan rela ia membiarkan dirinya ragu dalam mengambil keputusan dan memulai langkah kecilnya…
Tak akan rela ia membiarkan dirinya menjadi pesimis dan apatis akan masa depan diri dan pendapat orang-orang di sekitarnya…
Tak akan rela ia membiarkan dirinya berkeluh kesah atas semua penderitaan dan kelelahannya…


“Ukhti…
Terkadang waktu tidak memberikan ruang yang luas untuk terlalu banyak berpikir dan menimbang… yang pada akhirnya akan bermuara pada kebimbangan dan keraguan yang berkepanjangan…
Karena…
Kemampuan dalam menentukan pilihan itulah yang akan menentukan kualitas hidup kita…”

Kenangan itu tidak akan pernah terlupakan…Dakwah Kampus…
Bahkan rasa lelah ketika mengurus wajihah saat ini sangat ku rindukan
Saat-saat membina dan berbagai masalah di wajihah membuat diri ini semakin dewasa
Sungguh berbeda antara sendiri dengan hidup berjama’ah
Di tarbiyah kita dipertemukan sampai akhirnya persaudaraan itu menjadi terasa manis
Hingga ku menyadari bahwa ukhuwah itu benar-benar nikmat hingga melebihi dengan saudara kandung sendiri.